handogos

Jangan ngikuti aku. Aku juga nggak mbuntut kamu. Kita jalan bareng.

Archive for the tag “pelukis”

KASTA PARA PELUKIS*)

Beberapa tahun terakhir ini aku melihat dunia para pelukis didominasi mereka yang sibuk berurusan dengan pasar. Berkat dukungan ratusan artshop, gallery dan balai lelang lengkap dengan para kuratornya yang berskala lokal regional para pelukis yang tak diragukan kepiawainya memilih heboh dan meramaikan pasar. Itulah para pelukis kasta weisya.
Mereka tidak keliru dalam pilihannya, namun pertanyaannya adalah, dimanakah pelukis lain. Yang mewakili wilayah yang lebih tinggi. Para pelukis yang berkasta ksatria atau brahmana ? Mereka yang memilih jalan sunyi dengan mengedepankan sikap moral untuk memperjuangkan alam pikiran, ideologi pertumbuhan, perubahan dan pembaruan nilai-nilai seni budaya khususnya dan nilai kehidupan yang lebih luas lagi umumnya ? Mereka yang bukan sekedar milik dirinya sendiri serta lingkungan terbatasnya. Mereka yang sungguh-sungguh milik dunia. Mereka yang tak pernah lelah berkarya demi kemaslahatan  hidup dan kehidupan ini.
Adakah ? Atau masih adakah ? Atau akan adakah ?

kasta bangsa Maya
sumber Google

Pendahuluan

Dalam omongan, kritik seni ataupun esei jarang kita mengangkat adanya klas-klas atau strata pada seniman pelukis Indonesia. Entah lupa, entah tak terpikirkan. Atau mungkin sungkan dalam era begini modern masih bicara tentang perbedaan klas. Jadinya para seniman pelukis ini seakan berdiri di ruangan yang sama pada ketinggian lantai yang sama pula.
Saya yakin tidaklah demikian seharusnya.
Norma dan hukum kehidupan mengenal apa yang disebut klas, tingkatan atau strata sebagai pola dan tatanan langgeng jagad raya berikut tingkatan risiko dan kwalitas hidupnya. Lekat pada apa maupun siapapun termasuk pada para pelukis Indonesia.
Orang Hindu mengistilahkan tatanan macam itu sebagai ‘kasta’. Yang mereka lanjutkan menjadi wacana darah, genetik, ras atau suku di antara manusia.
Uraian tentang kasta di lingkungan para pelukis ini bukan dalam kaitan ke-Hindu-an. Juga bukan urusan darah, genetik, ras atau suku. Kasta yang saya maksud adalah ungkapan sikap moral dari para pelukis.
Dengan kastanya setiap pelukis hidup, tumbuh dan berkarya di wilayah edar atau orbitnya.
Orbit pelukis brahmana beda dengan orbit pelukis ksatria, beda pula dengan orbit pelukis weisya, sudra dan seterusnya.
Kasta para pelukis adalah ‘sikap moral’ yang timbul dari adanya perbedaan orientasi dan kepentingan pada setiap pribadi pelukis. Orientasi dan kepentingan yang menghadirkan komitmen dan risiko dalam melaksanakan fitrahnya.

  • Seorang brahmana adalah ‘pemilik kebebasan sejati’. Ber-karyacipta untuk  merubah, membongkar dan atau meningkatkan nilai-nilai kehidupan menjadi lebih baik dan tinggi. Dialah pemilik jagad yang tak terbatas ini. Aktualisasi seorang brahmana bisa ‘gigantik’ atau sangat sederhana. Sarat energi. Menjangkau dan mempengaruhi pergerakkan semesta sejak partikel, debu, galaksi dengan segenap bintang-bintang, merentang jauh ke alam raya.
  • Seorang ksatria adalah pemimpin dan penguasa dunia. Pahlawan dan pejuang nilai-nilai kehidupan. Wilayah orientasinya adalah cinta, pengabdian dan pengorbanan. Mereka sarat dengan lambang-lambang keberanian, perjuangan dan kepahlawanan. Para idealis yang berkorban dan berjuang tanpa pamrih, tanpa kenal lelah dan henti. Bagi mereka mati atau hidup merupakan dialektika kehidupan yang penuh kebanggaan dan ihklas melakoni.
  • Weisya adalah kasta para profesional. Moral weisya adalah hidup untuk bekerja, memberikan pelayanan masyarakat dan mendapatkan imbalan, upah atau gajih. Mereka datang dari berbagai disiplin antara lain : insinyur, dokter, pengacara, produsen, pedagang, petani, nelayan dan sejenisnya. Weisya bekerja berdasarkan asas manfaat dan risiko guna  menjamin kelangsungan pelayanannya.
  • Sudra adalah klas pekerja. Mereka menjadi sarana pendukung klas-klas di atasnya sebagai pelayan, pekerja, karyawan, buruh, tukang dst.
  • Paria  adalah kasta bagi orang-orang tersingkir. Mereka adalah pencuri, koruptor, penjiplak, pemalsu, penyuap, pembajak serta berbagai tindakan rendah lainnya.
Pelukis dengan sikap moral brahmana

sepatu dengan inspirasi karya Piet Mondrian
sumber Google

Sebagai ‘pemilik kebebasan sejati’ pelukis brahmana berkarya dengan penuh ‘ke-sewenang-wenangan’. Karya-karyanya merupakan ‘peristiwa’ semesta. Menandai adanya kelahiran, kematian, kebangkitan dan perubahan nilai-nilai. Ibarat udara brahmana adalah anginnya, ibarat laut adalah ombaknya, ibarat daratan adalah gunung, tebing dan jurang-jurangnya.
Pelukis brahmana tinggal di wilayah konsepsi, ide dan thema yang terus mengalir bersama tarikan nafasnya. Ungkapan garis, warna, bidang dan bentuknya menyalurkan energi yang mendorong dan menggerakkan kehidupan. ‘Pemilik kebebasan sejati’ tak kenal lelah, tak pernah salah atau gagal dalam berkarya. Dia berada di tempat yang benar secara haq. Apapun yang dia perbuat benar saja adanya.
Pelukis brahmana terbebas dari nilai, standar dan norma-norma khalayak, karena dialah pembangun nilai, standar dan norma-norma. Terbebas dari jarak, ruang dan waktu yang berkaitan dengan hal jauh dekat, cepat lambat, luas sempit, baik buruk, senang tidak senang, laku tidak laku.
Tidak terikat pada berbagai standar material. Tak lagi mempersoalkan kepribadian. Baginya semua itu sama saja. Karena segalanya adalah miliknya dan ada dalam kendalinya.
Karya-karya pelukis brahmana tak terikat alur norma dan hukum yang tersedia. Laiknya  mantra, dzikir atau do’a, dampak karyanya pada kehidupan bersifat langsung sekaligus tak langsung, nampak tak nampak, dirasa atau tak dirasa. Mutlak yang tak terelakkan.
Orientasi moral pelukis brahmana adalah terus menerus melahirkan, menghancurkan, membangun, melakukan pembaruan dan menumbuhkan nilai-nilai. Dengan kebebasannya yang tanpa hambatan, tanpa jeda dan cela dalam orbitnya yang men-jagad, pelukis brahmana mengakhiri setiap karyanya sebagai awal dari karya berikutnya.

Pelukis dengan sikap moral ksatria

lukisan karya Diego Rivera
sumber Google

Sebagai pemimpin dan penguasa dunia, komitmen seorang pelukis ksatria adalah menjadi bagian langsung dari kehidupan. Ibarat udara ksatria adalah burung-burung yang terbang mengarunginya, ibarat laut bahteranya, ibarat daratan adalah danau, sungai, hutan berikut aneka tanaman dan satwanya.
Dengan cintanya yang tulus, penuh pengabdian dan siap melakukan pengorbanan, mereka melaksanakan, menjaga dan membela kehidupan agar berjalan secara indah, adil dan benar. Dengan lukisan sebagai alat juangnya, pelukis ksatria menegakkan ‘yang roboh’ dan meluruskan ‘yang bengkok’.
Pelukis ksatria senang dengan tantangan, dinamika dan perubahan. Mereka tidak akan menghindari penderitaan, tekanan dan pukulan. Mereka sangat menikmati persaingan. Mereka tidak pernah curang. Kekalahan dan kemenangan yang silih berganti selalu lekat dalam kehidupannya.
Setiap karyanya bernilai ‘eksekusi’. Suatu nilai keputusan dari seorang ksatria yang berkaitan dengan standar, norma dan nilai-nilai kehidupan yang harus di perjuangkan, dibela dan ditingkatkan kwalitasnya.
Bagi ksatria, hasil akhir adalah puncak dari sebuah proses, oleh karenanya mereka kenal ‘finishing touch’. Namun bagi mereka, proses tetap lebih penting dari hasil akhir.
Pada umumnya kehidupan pelukis ksatria sangat romantis dan penuh kegelisahan. Konsep, ide dan thema merupakan pergulatan, pencarian, petualangan dan peperangan yang tak habis-habisnya bagi para ksatria.
Menjadikan sumber dari keindahan, kelembutan dan ketegaran para ksatria menampilkan bentuk, warna, garis dan bidang dengan penuh gelora, spontanitas dan kejujuran dalam setiap karyanya. Mereka sangat mengutamakan jati diri atau kepribadiannya dan bangga oleh karenanya. Pada jati diri atau kepribadiannya yang berlandaskan cinta, pengabdian dan pengorbanan itulah nilai ke-senimanannya ditampilkan.
Karya-karya para ksatria menjadi acuan dan rumusan tentang kaidah, norma, standar dan nilai-nilai kehidupan.
Banyak legenda yang lahir dari para pelukis ksatria. Karya-karya terbaik mereka mengisi tempat-tempat terbaik dan terhormat di dunia.
Sambutan dan pujian dunia tertumpah pada pelukis ksatria pada setiap kehadirannya. Arena pameran menjadi ajang puncak aktualisasi dirinya. Menjadi terminal dari setiap episode perjuangannya. Hampir setiap pelukis ingin dikesankan hidup diwilayah pelukis ksatria ini.

Pelukis dengan sikap moral weisya

pada sebuah ruang pameran

Pelukis weisya hidup dan dihidupi oleh karya-karyanya. Mereka adalah profesional yang mengisi kebutuhan ‘keindahan’ di dunia. Dengan terampil dan produktip menjadi gudang komoditi seni yang pasarnya terbentang luas di berbagai penjuru dunia.
Sebagai ahli dalam bidangnya hampir tak ada satu celahpun di dunia yang tidak disentuh oleh pelukis weisya ini.
Bagi weisya, karya adalah komoditi, produk, stock, modal, cadangan, asset, investasi, jaminan dan tabungan. Prosesnya harus ‘cucuk’ seimbang dengan hasil akhirnya agar bisa menjaga kesinambungan keberadaannya.
Strategi pelayanan, produksi, pemasaran dan distribusi menjadi acuan utama para pelukis weisya dalam menyiapkan konsepsi, ide dan thema karya-karyanya.
Mereka tidak terlampau mempersoalkan ‘kepribadian’, sepanjang mayoritas pasar mereka tidak mempersoalkannya.
Di hotel-hotel, kantor, gedung pertemuan, karya-karya ‘pelukis weisya’ mengisi ruangan dan dinding-dindingnya.
Mereka mempertahankan apa-apa yang pernah mereka capai. Tidak merasa perlu merubah keadaan, melakukan pengorbanan, melakukan pengabdian yang identik merugi. Usaha utamanya adalah bagaimana tetap dekat dan disenangi para pelanggannya.
Orang weisya senang dengan kemapanan. Tidak begitu senang dengan dengan perubahan. Karena perubahan bagi mereka identik dengan ancaman.
Merupakan kenyataan bahwa dunia membutuhkan mereka. Galeri, art shop, balai lelang akan mati kutu tanpa dukungan pelukis weisya.

Pelukis dengan sikap moral sudra

Sudra adalah kelas pekerja. Buruh, karyawan, pembantu, tukang, mantri, carik, asisten, sekretaris, pelayan masuk dalam kategori sudra. Kaum sudra tidak berposisi sebagai pengambil keputusan. Kaum sudra adalah pelaksana keputusan. Selalu ada majikan yang menyuruh, memerintah, memberi tugas, memberi instruksi kepada kaum sudra untuk melakukan sesuatu. Untuk itu sudra mendapatkan upah yang sesuai kebutuhan hidupnya. Bisa jadi pelukis sudra memiliki ketrampilan tehnis lebih dari sang majikan. Namun majikanlah yang menentukan ini begini dan itu begitu.
Para brahmana, ksatria dan weisya tak mungkin menyelesaikan sendiri pekerjaannya. Mereka memerlukan kehadiran sudra selaku pembantu dan pelaksana.

Pelukis dengan sikap moral paria

Dengan sikap dan kelakuan parianya yang merugikan sendi-sendi kehidupan mereka tersingkir dan dianggap rendah oleh siapapun. Dengan ketrampilannya sebagai pelukis dia mencuri ide orang lain, menjiplak, memalsu, membajak serta berbagai tindakan lainnya yang jauh dari cinta, kehormatan, martabat dan harga diri.
Paria adalah tokoh antagonis dan sisi gelap dalam berbagai dunia termasuk dunia para pelukis. Kalau udara dialah gas buangnya, kalau laut atau daratan dialah sampahnya.
Orang-orang paria bisa berlatar belakang sosial, ekonomi & pendidikan menengah dan atas yang memiliki berbagai ketrampilan profesional. Namun mereka memilih cara rendah untuk hidupnya.
Bagi mereka proses tidaklah penting, yang penting adalah hasil akhirnya. Mereka sama sekali tidak berbicara identitas, aktualisasi, kepribadian dan sebagainya. Wilayah orientasinya ‘pokoknya hidup’ dengan cara apapun.

Perbedaan klas bersifat hakiki

Dalam keseimbangan semesta norma dan hukum kehidupan mengenal apa yang disebut klas, tingkatan, strata atau kasta. Setiap kasta membawa sifat unik namun saling melengkapi. Masing-masing memiliki serta menghadapi tingkat risiko dan kwalitas hidup yang beda.
Pengabaian perbedaan klas akan menimbulkan kerancuan nilai-nilai. Yang ‘brahmana’ menjadi diam dan sunyi. Yang ‘ksatria’ dihindari, ter-berangus dan hilang dari peredaran. Yang ‘weisya’ dipuja-puji sekaligus ditipu dan dijadikan sapi perah.
Mengabaikan perbedaan klas berarti mengabaikan keseimbangan yang merugikan bagi nilai-nilai hidup, pertumbuhan harkat, martabat dan peradaban.
Perbedaan klas tidak untuk diartikan sebagai perbedaan mutu, sebagai yang satu lebih baik dari yang lain. Karena setiap klas memiliki puncak-puncak karya dan ‘masterpiece’-nya sendiri.
Perbedaan klas bukanlah kelemahan tetapi ke-aneka-ragaman, kekayaan dan kekuatan. Perbedaan klas adalah perbedaan prioritas, sasaran dan pendekatan.
Perbedaan klas merupakan kebutuhan, bahkan kalau perlu dipertajam, karena setiap klas memiliki ‘career planning’-nya sendiri.
Perbedaan klas itu ada, dan perlu ditampilkan spesifiknya. Bahwa mereka tidak berada dalam ruang yang sama dan tidak pada ketinggian lantai yang sama.
Perbedaan klas adalah hakikiah kesemestaan yang mutlak. Tak terhindarkan.

Jakarta, Agustus 2001
disunting, Desember 2011
Handogo Sukarno
Catatan:
  • Disunting dari materi pidato kebudayaan oleh Handogo Sukarno, Pasar Seni Ancol, 3 Okt 2001
  • Materi yang sama terbit sebagai artikel pada hr SINAR HARAPAN, Okt 2001
  • *)Kasta tak membebaskan siapapun dari makna dasarnya yaitu, tingkat moral manusia. Termasuk mereka para politisi, pendeta & ulama, tukang sayur, seniman, sastrawan, sopir, wartawan, pemimpin negara dst. Tak ada yang aneh jika seorang tukang sayur bermoral brahmana sementara sang pendeta & ulama moralnya paria.
  • Wikipedia : Asal kata ‘kasta’ dari bahasa Portugis yang berarti pembagian masyarakat.

Pelukis Perlu Ngomong

siklus sebuah karya

berawal dari energi
energi melahirkan hasrat
hasrat melahirkan kesadaran
kesadaran melahirkan sikap
sikap melahirkan kehendak
kehendak melahirkan konsep
konsep melahirkan rencana
rencana melahirkan karya
karya melahirkan energi

“Setiap orang memiliki latar belakang, pengertian (pemahaman) dan sudut pandang yang berbeda-beda dalam membaca liku kehidupan. Makin tidak harfiah (nyata) apa yang dipandang, makin besar kemungkinan beda-bedanya. Apresiasi bermakna persamaan atau setidak-tidaknya toleransi dari satu orang ke orang yang lain hingga perbedaan ter-jembatani.
Bagi pelukis yang masih memerlukan kehadiran dan apresiasi orang lain, maka…”

PELUKIS PERLU NGOMONG

‘Melukis saja terus, nggak perlu banyak omong’, demikian kurang lebih semangat dan dorongan yang sering saya dengar dari para pelukis senior di sanggar-sanggar maupun di institusi pendidikan macam ASRI Yogya saat saya mulai belajar melukis sekitar tahun 1958-an. ‘Omongan seorang pelukis, ya lukisannya’, lanjutnya. Dan kemudian hal itu menjadi semacam fatwa dalam kehidupan para pelukis Indonesia selama ini.

Dan hasilnya, sejak hadirnya ‘berkesenian modern’ di negeri ini lebih dari 70 tahun yang lalu, nyaris tidak ada pelukis Indonesia yang mau atau bisa ngomong. Mereka berkegiatan, melukis, berpameran, melang-lang buana, bertemu antar pelukis, menyaksikan karya-karya dunia di museum-museum dengan gaya diam. Juga dalam diskusi-diskusi tentang dunianya seni lukis, sang pelukis ya, diam. Dan akhirnya yang nampak adalah suatu komunitas para seniman (pelukis) yang bisu.

Sesungguh-sungguhnyalah, gaya ‘seniman membisu’ itu merupakan kemunduran dunia seni budaya bangsa Indonesia. Pada zamannya, seorang ‘empu’ pembuat keris biasa menceritakan makna setiap torehan, lekukkan, tatahan atau gambaran, hingga kita mendengar istilah ‘morjosingun‘, suatu akronim dari konsep hingga bentuk serta pilihan bahan pamor, baja, besi dan bangun dari keris-keris yang mereka buat.

Hal yang sama juga dilakukan oleh para ahli-ahli tradisional dalam membangun rumah, membatik, menari dan sebagainya yang selalu di-ikuti adanya omongan lisan ataupun tertulis.

Mereka menyadari bahwa dengan ngomong (sedikit maupun banyak), masyarakat akan lebih cepat dalam memahami ‘apa maunya’ seni dan senimannya.

Ngomong sebagai upaya pencerahan budaya
Suatu kenyataan bahwa, se-realis-realisnya sebuah lukisan, tetap saja merupakan benda abstrak. Masyarakat luas dengan mudah dan cepat memahami keindahan yang nampak pada permukaan sebuah kanvas, tetapi bagi para seniman pelukis merasakan sangat sedikit dari mereka mampu menyelami pesan-pesan utama yang dipancarkan dari kedalaman kanvas tersebut.

Menurut para bijak, budayawan termasuk didalamnya para seniman pelukis adalah ‘roh, atma atau jiwa sebuah bangsa’.

Sesungguhnyalah sebagai ‘roh, atma atau jiwa bangsa’, kerja ke-senimanan merupakan kerja besar. Dalam ber-karya, seorang seniman mengerahkan seluruh sumber dayanya. Pikirannya, ketrampilannya, wawasan hidupnya, sikap moralnya, kepekaan rasanya, kemampuan eksekusinya untuk kemudian diramu secara lengkap, menyeluruh dan menyatu dalam derap, irama dan gejolak kreatip untuk meraih nilai-nilai dalam ungkapan tunggal serta padat (solid), dalam wujud karya seni. Oleh karenanya sebagai budayawan seorang seniman adalah juga seorang intelektual.

Dan selaku intelektual, ditengah masalah kehidupan masa kini yang semakin kompleks, ngomong, dalam lisan maupun tulisan merupakan sarana strategis dan efektip dalam upaya merangsang pencerahan (terbukanya pemahaman, kesadaran) masyarakat pada seni budayanya.

Katakanlah sebagai pribadi atau antar pribadi, mungkin seorang pelukis merasa tidak perlu ngomong, tetapi sebagai sebuah komunitas atau kaum, diantara para pelukis perlu ada yang bisa dan mau ngomong, untuk mengalirkan informasi, menebar siar dan melempar wacana hingga terbukanya pemahaman dan kesadaran pihak lain mengenai ‘kenapa begini, kenapa begitu’-nya tingkah laku dan karya-karya para seniman pelukis.

Omongan akan ‘menyeret’ pemahaman dan imaginasi, yang memungkinkan seseorang keluar dari ‘kaidah dan akidah’ terdahulu, menuju ke ‘kaidah dan akidah’ baru dan atau lainnya untuk ber-apresiasi, sesuai pikiran dan rasa sang seniman.

Lebih jauh lagi, untuk kepentingan pelukisnya sendiri, ngomong akan membuat mereka selalu melakukan ‘up-dating’ (penyegaran) pada berbagai hal yang berkaitan dengan ke-senimanan-nya. Dengan demikian para pelukis selalu berada di garis depan dan peka terhadap perubahan serta pergolakan kehidupan yang terus menerus terjadi dan menjadi sumber inspirasi karya-karyanya.

Pemahaman karya seni dan proses kejadiannya
Kejadian atau hadirnya karya tidak begitu saja tumpah. Lukisan adalah produk dari sebuah proses yang melibatkan waktu, ruang (dimensi) dan materi. Baik materi yang ‘tangible’ (nyata) maupun yang ‘intangible’ (tidak nyata).

Berawal dari energi
Begitulah menurut kaum cerdik pandai (sejak Newton, Albert Einstein, Stephen Hawking dst.) bahwa cikal bakal kehidupan adalah energi. Sejak ‘dentuman besar’ yang memunculkan jagad raya 14 milyar tahun lalu, energilah yang berperan dalam pembentukkan segalanya di semesta tak terhingga ini. Termasuk adanya saya, keponakan, mertua, anda dan teman-teman pelukis lainnya.

Energi melahirkan hasrat
Energi memiliki karakter aktif dinamis. Seolah didorong untuk selalu ingin tahu dia bergerak ke segala arah mencari obyek (atau juga korban) untuk menyalurkan aksi dan dinamikanya. Terjadilah interaksi pada setiap hal-hal yang disentuhnya. Interaksi ini semacam konflik yang mendorong hadirnya hasrat yang menebar secara multi dimensi.

Hasrat melahirkan kesadaran
Mungkin memerlukan milyaran tahun si energi menggelitiki debu-debu kosmis dan benda-benda semesta lainnya dan menghadirkan hasrat hingga terbentuknya ‘macam sesuatu’ atau ‘anu’ yang kemudian makin terlengkapi dengan multi komponen hingga hadirnya kehidupan manusia yang terdiri dari darah, daging, bulu-bulu, otak, hati dan kesadaran.

Manusia yang sadar, melek alam dan lingkungan, melek nilai keindahan, melek ilmu pengetahuan, melek peluang dan ancaman, melek yang baik dan nggak baik, melek panutan dan larangan, melek hakekat awal dan akhir kehidupan erat terkait dengan waktu, ruang (dimensi) dan materi sebagaimana tersebut di atas menjadi modal utama dari setiap proses kejadian.

Orang-orang mendapatkan dimensi kesadaran yang berbeda. Mulai dari kesadaran paling dasar yang bertolak dari ukuran fisik (material) semata. Hingga kesadaran tinggi yang bertolak dari pengamatan mata, pikiran dan hatinya.

Kesadaran melahirkan sikap
Secara hakiki setiap orang memiliki kebutuhan. Hadirnya kesadaran mendorong naluri seseorang mencari pemenuhan kebutuhan tersebut. Tinggi rendahnya tingkat dan dimensi kesadaran seseorang menentukan tinggi rendah tingkat kebutuhannya. Abraham Maslow berteori, jenjang kebutuhan manusia yang paling rendah adalah, pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, sandang, papan dst.) kemudian menyusul kebutuhan rasa aman, kebutuhan saling mencintai, kebutuhan menghargai dan dihargai dan yang tertinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri. Dengan itu seseorang kemudian mengambil sikap dan ancang-ancang, memposisikan diri, memilih jarak, ruang dan waktu untuk ‘nggayuh‘ (meraih) pemenuhan kebutuhannya.

Sikap melahirkan kehendak
Sesuai dengan tingkat dan dimensi kesadaran yang dimilikinya, seorang pelukis menetapkan kehendak, cita-cita, sasaran dan target untuk lukisan yang akan dibuatnya. Ada yang merasa cukup apabila dengan lukisannya bisa makan, minum, membeli sandang, papan serta kebutuhan dasar lainnya. Ada yang selalu berusaha agar karyanya selalu disukai dan aman dari kemungkinan putusnya hubungan dengan art gallery (konsumen). Dan ada pula yang secara sistematis menjadi seniman pelukis demi popularitas dan pujian dari lingkungannya.

Dan bagi pelukis yang mengutamakan kebutuhan aktualisasi diri, serta sepenuhnya menempatkan diri sebagai ‘roh, atma atau jiwa bangsa’, melalui karyanya mereka mengabdikan diri demi kesejahteraan umat manusia dan atau kehidupan yang lebih baik dalam arti luas. Mereka berkerja dengan penuh ridha, siap berkorban dan tulus tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih-pamrih sempit.

Kehendak melahirkan konsep
Berdasarkan kehendak, cita-cita, sasaran dan target seorang pelukis menyiapkan konsep (mengikuti gejolak kreatip menyentuh obyek, thema, bentuk, paradigma, akidah, kaidah, nilai-nilai dsb.) untuk mencapai pemenuhan kebutuhannya.

Konsep melahirkan rencana
Kemudian membuat rencana (prosedur tehnis), melakukan konsolidasi dan koordinasi dengan berbagai sumber daya yang dimilikinya, menyiapkan rancangan, sarana dan prasarana. Mengkondisikan diri secara mental dan tehnis untuk mencapai wujud akhir.

Rencana melahirkan karya
Dan akhirnya melakukan eksekusi, melukis dan mewujudkan pemenuhan kebutuhannya.

Karya melahirkan energi
Kebutuhan untuk kembali memancarkan energi dari setiap karya sebagai amalan atau sumbangsih untuk kehidupan dan proses berikutnya.

Obat nyamuk, kembali ke energi
Tergantung kebiasaan, kesiapan dan jam terbang sang seniman, tahap-tahap proses di atas tidak selalu ‘urut kacang‘. Segalanya bisa hadir dan mengalir begitu saja.

Dan para pelukis yang terus menerus ber-ulah kreatip dan melakukan pembaruan, kehidupannya seperti spiral obat nyamuk. Semua tahap-tahap proses berputar ulang pada siklus tertentu, sekaligus bergerak menanjak dan mem-fokus (menuju titik pusat). Meningkatkan nilai-nilai sebagai upaya yang tak kunjung usai, seirama putaran jagad raya yang tak kunjung usai pula.

Dan karya kembali menjadi energi. Pola obat nyamuk itu adalah siklus yang mengindikasikan dan menuntut, bahwa idealnya setiap lukisan menghasilkan dan memancarkan kembali energi ke-semestaan-nya demi proses lahirnya karya-karya berikutnya, demi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan yang lebih baik.

Dalam situasi macam inilah perlunya pelukis ngomong. Proses kehadiran karya, dikarenakan adanya ulah kreatip yang menampilkan pembaruan baik pada awal kesadaran ataupun tahap-tahap lanjutannya hingga akhirnya seseorang melakukan eksekusi, sebagai hal yang tidak mudah dilihat dan dipahami oleh khalayak. Omongan seniman akan memperpendek kesenjangan itu. Dan apresiasi masyarakat diharapkan tumbuh dalam koridor yang benar.

Jakarta, Juli 2008
Handogo Sukarno

Navigasi Pos